Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil. (Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera)
Seperti biasa, Puas sebagai pemimpin tertinggi pastoral dalam agama Katolik menyerukan pesan persaudaraan dalam konteks kemanusiaan. Tidak hanya selama di Indonesia, pesan persaudaraan dalam agama Katolik dianggap sebagai suatu ajaran tertinggi dalam memperlakukan sesama yaitu melebihi diri sendiri. Maka sikap "mendahulukan yang lain" atas kepentingan pribadi dengan segenap akal budi adalah di antara langkah yang patut terdapat dalam diri pengikutnya.
Tidak jarang, para pengikut, bahkan pemuka agama Katolik sendiri tampak melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan baik secara literatur maupun konsili (keputusan tertinggi gereja). Di luar nilai kepatutan, sikap mengasihi sesama terkadang ditempuh dengan melampaui batasan-batasan tersebut sebagai bukti mengasihi antar sesama. Namun cara ini ternyata melahirkan persoalan serius.
Betul di antara mereka terdapat golongan atau orang yang khusyu', bersikap lembut dan santun dalam memperlakukan sesama manusia dan makhluk Tuhan serta tidak melakukan pelanggaran sehingga menjadi di antara jaminan eksistensi mereka sebagai pengikut ajaran Tuhan hingga akhir zaman (Hari Kiamat), namun dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit yang secara berperilaku buruk terhadap sesama sampai melanggar aturan berupa ketuntuan yang ditetapkan Tuhan.
Silang Pemahaman Kepantasan
Jika nilai keadilan secara an sich tergantikan dengan kepantasan, maka patokan kebenaran tentang siapa yang paling berhak dalam mengambil suatu sikap dalam kepentingan bersama menjadi kabur dan tidak jelas. Mau tidak mau, dugaan muncul. Terlebih dalam hal kepemimpin, sikap-sikap tertentu yang diambil baik dalam konteks pemangku kedudukan maupun dalam kehidupan sehari-hari menimbulkan berkaitan perasaan di antaranya iri yang memicu permusuhan antara penganutnya.
Bahwa "karena sudah begini dan begitu, saya sebenarnya lebih bisa", bahwa "jika bukan karena ini dan itu tidak perlu menjadi pemangku tahkta suci", bahwa "saya yang paling berhak untuk ini dan itu dalam urusan agama" atau lainnya adalah di antara dugaan yang dapat memicu timbulnya permusuhan. Akan lebih hebat lagi adalah terhadap keputusan satu sama lain dalam menjalankan ajaran atau perintah agama, tidak jarang satu dengan yang lain berlomba untuk berbeda pandangan dan saling menyelisihi satu sama lain baik dalam pemahaman atau pengamalan ajaran tersebut.
Tidak heran, terdapat ungkapan "makin ke sini makin ke sana" untuk menggambarkan hebatnya dinamika persaingan internal Katolik yang sesungguhnya. Berbenih pada munculnya masa renaisans, yaitu semangat mengembalikan kehidupan manusia yang berpusat pada ilmu pengetahuan sebagai awal lahirnya modernitas, bermunculan juga aliran-aliran (ordo-ordo) dalam ajaran yang dianut sekaligus momen lahirnya gereja selain Katolik memiliki "kiblat" yang berbeda.
Selanjutnya, seperti apa sebenarnya yang dimaksud dengan pesan persaudaraan Paus dan relevansinya dengan umat beragama di Indonesia yang nyatanya majemuk? Selain antusias dengan berbagai persiapan dalam menyambutnya, bagaimana sikap terhadap pesan tersebut sebenarnya? Insklusivitas secara konseptual dapat saja menjadi jawaban sederhana sebagai sikap terhadap penganut agama berbeda. Namun sebenarnya, konsep ini terlampau rumit untuk dipahami dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini.
Maka pencerahan seperti melalui tulisan dan wawasan keagamaan secara absah adalah dua di antara cara yang dapat ditempuh. Selanjutnya, ketetapan iman, kedewasaan untuk menerima kenyataan bahwa perbedaan merupakan suatu di antara cara Tuhan untuk menunjukkan kuasaNya menjadi di antara hikmah yang patut direnungkan. Kemudian, poin yang penting untuk diambil adalah saling kenal sebagai bangsa dan suku yang berbeda antara masyarakat Indonesia dengan beliau; Paus dari Vatikan tersebut!
Facebook comments