Skip to main content

Manajemen Krisis pada Korporasi

Manajemen Krisis pada Korporasi
Manajemen Krisis pada Korporasi

Oleh : Achmed Reynaldo Prihandono, S.Pd. Mahasiswa Pascasarjana Universitas Paramadina

Sebuah korporasi, organisasi ataupun sejenisnya, tentu memiliki reputasi dan citranya masing - masing yang “setengah mati” dipertahankan. Hal ini tentunya menjadi perhatian khusus bagi manajemen maupun stakeholder salah satunya, yaitu tetap siaga di dalam menjaga image Publik Brand. Sehingga diperlukannya sistem, tim/divisi, apparatus yang secara khusus memiliki kemampuan/kompetensi untuk melakukan “handling” pada ranah tersebut. Kewenangan lain yang dimiliki Divisi tersebut adalah kewenangan dalam mengambil tindakan - tindakan yang dinilai tepat untuk korporasi, selama tidak mengganggu stabilitas.

Tim khusus tersebut, seringkali menjadi salah satu tonggak dalam menjaga sebuah korporasi tetap establish. Oleh karena persepsi tentang sebuah Brand (pada korporasi) dinilai hebat atau tidaknya, melalui resistensinya. Humas atau lebih trend disebut dengan PR merupakan pihak khusus yang memiliki kompetensi serta kewenangan untuk tetap menjaga korporasi berada dalam “garis aman” di dalam perjalanannya, meski dihalau terpaan “badai”. Fungsi dari PR sendiri dijelaskan dalam berbagai literatur, antara lain membangun serta menjaga komunikasi dengan pihak Internal, seperti karyawan dengan pimpinan, serta pihak Eksternal, seperti publik.

Terkadang “kerusakan” komunikasi dengan publik cukup sulit untuk diatasi. Walaupun di sisi lain, pekerjaan PR didasarkan pada tujuan yang ditentukan manajemen, akan tetapi dinamika atau terjangan ombak besar (isu krisis) maupun kecil yang ber-impact kepada korporasi harus dapat diatasi maupun dikendalikan. Dinamika tersebut dapat berupa perubahan sistem, struktur organisasi internal, kebijakan/regulasi, dan lain sebagainya, bahkan faktor dari Stakeholders itu sendiri. Fungsi PR perlu untuk ditegakkan, salah satunya yaitu untuk menjaga komunikasi internal korporasi yang baik (pimpinan, karyawan dll). Meski tidak mudah, namun kesulitannya masih tidak sukar untuk diatasi. Poin yang cukup major yang lebih sulit yaitu jika dinamika atau “ombak itu” terjadi dan yang menerima “dampaknya” di luar dari korporasi/organisasi (pihak eksternal). 
    
Terpaan dinamika tersebut terkadang dapat berupa isu yang menerpa. Dan jika di “kendalikan” dapat berujung terjadinya krisis bagi korporasi tersebut. Sehingga perlunya dilakukan manajemenisasi terkait resiko akan apa yang terjadi, serta kesiapan jika krisis - krisis menerpa. Hal dasar yang dapat dilakukan untuk “sekedar” mencegah krisis terjadi adalah tetap menjaga hubungan dengan pihak media (media relations) dengan baik. Hal ini dikarenakan pemberitaan - pemberitaan di media dapat memperparah dan itu muncul oleh karena persebaran informasi melalui alat - alat media berbasis digital (generally). Dimana media digital berkembang dengan pesat dan dapat menjangkau khalayak dalam sekian detik. Untungnya terdapat peraturan khusus jika disalahgunakan.

Hal yang menarik adalah ini bukan masalah benar atau salah, akan tetapi persepsi yang dilahirkan, melalui pemberitaan digital, memiliki ambiguitas yang multi tafsir. Berfokus kepada manajemenisasi krisis jika terjadi, berdasarkan model manajemen krisis Coombs (2007 dalam Nirmalasari, 2020), terdapat tiga fase dalam krisis, antara lain Pre Crisis, Crisis dan Post Crisis. Model Coombs tersebut, dapat dijadikan sebagai acuan dasar pembuatan sistem ataupun tim manajemen krisis.

Sebuah krisis dapat datang secara tiba - tiba dan harus dapat diperbaiki atau dikelola dengan baik. Identifikasi yang komprehensif perlu dilakukan, penentuan langkah apa yang dilakukan serta tidak lupa untuk evaluasi. Hal ironis yang sering muncul, yaitu tidak jarang kita mendengar sebuah pemberitaan negatif justru menaikkan branding.


Sebagai bagian dari manajemen, kita tidak hanya berfokus kepada proses tim manajemen krisis yang berperan dalam mengelola sebuah krisis, melainkan peran pimpinan juga tidak lepas dari manajemenisasi krisis tersebut. Sebagai puncak dalam sebuah korporasi, pimpinan diharuskan mampu atau memiliki kompetensi dalam menghadapi serta memimpin tim ketika sebuah terpaan “angin” positif maupun negatif yang memiliki indikasi berdampak kepada tubuh korporasi tersebut.

Coombs memberikan model manajemenisasi terkait dengan bagaimana menghadapi isu, insiden atau hal lainnya yang dapat berujung krisis pada sebuah korporasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa krisis yang terjadi di dalam sebuah korporasi maupun individu, memberikan dampak yang bervariasi. Berikut sedikit penjabaran terkait model manajemen krisis Coombs:
-Pre Crisis merupakan tahap awal dimana indikasi atau penyebab yang dapat menimbulkan krisis diidentifikasi dengan segera. Sehingga tindakan preventif dapat dilakukan. 
-Namun, jika tempo terpaan pemberitaan negatif begitu cepat sehingga terjadi krisis, maka fase kedua yaitu melakukan reaksi yang cepat serta akurat terhadap situasi tersebut (Crisis).
-Fase terakhir dapat dicapai jika memang strategi dalam menghadapi krisis itu dapat berhasil. Post Crisis merupakan tahap evaluasi serta penjagaan stabilitas corporate branding. Sehingga masa krisis menjadi bahan acuan tambahan dalam mempersiapkan tindakan preventif Pre Crisis kedepannya.

Mempertahankan Kestabilan di Masa Krisis (Digitalisasi)

Masa sulit merupakan hal yang dapat datang secara tiba - tiba. Masa sulit memberikan efek yang minor maupun major kepada segala lini kehidupan. Tidak asing jika kita mendapatkan kabar bahwa jatuhnya pamor, kerugian besar, collapse dan sebagainya, menjadi hal yang lumrah terjadi ketika masa sulit menerpa. Dibalik fenomena tersebut terdapat hal yang menarik.
    
Coronavirus Disease 19 Pandemic, merupakan masa dimana perekonomian turun drastis serta banyaknya penyesuaian dilakukan dengan satu tujuan yang sama, yaitu untuk tetap sehat dan bertahan. Masa kritis lainnya tidak hanya saat pandemi terjadi, melainkan jika memang strategi yang digunakan sudah tidak berfungsi kembali. Seperti halnya pengusaha yang menggunakan toko fisik (penjualan in Store), dari sisi traffic penjualan, akan kalah jauh dengan pengusaha yang menggunakan e-commerce (digital).

Terdapat Fenomena yang berbanding terbalik dengan penggambaran negatif mengenai masa sulit. Dimana justru dengan munculnya masa sulit membawa hal positif kepada beberapa pihak. Berdasarkan data Badan Statistik Pusat (BPS) tahun 2021 terkait dengan pandemi Covid 19, disebutkan 9 dari 10 responden usaha real estate, transportasi, dan jasa lainnya masih beroperasi seperti biasa. Tambahnya, sekitar 68,2 % responden dari berbagai perusahaan (Usaha Mikro Kecil maupun Besar) disebutkan tidak pernah menutup usahanya semenjak pandemi Covid 19 melanda, di sisi lain 20,4 % perusahaan beroperasi kembali dan hanya sekitar 1,87 % perusahaan yang berhenti beroperasi.

Pada pertengahan tahun 2023 muncul pemberitaan yang menyebutkan bahwa salah satu e commerce diminta untuk ditutup. Salah satu yang ditekankan yaitu penutupan platform tersebut dikarenakan regulasi negara yang tidak memperbolehkan e commerce berjalan beriringan dengan social media. Di sisi lain, muncul pemberitaan dari salah satu pusat perdagangan besar, bahwa ada beberapa pedagang yang mengeluh. Hal ini didasari oleh merebaknya penjualan online yang memberikan harga yang jauh lebih murah. Yang mana melalui pemberitaan di media online, harga barang di e commerce terkesan tidak masuk akal. 

Berdasarkan data - data diatas, terdapat hal menarik yang dapat kita kulik tentang bagaimana sebuah perusahaan/korporasi maupun individu harus tetap stable di masa krisis. Dan dapat kita assess bahwa tim manajemen krisis beroperasi dengan baik, jika dapat melalui masa - masa krisis. Bagaikan pelaut hebat yang lahir dari pertemuannya dengan ombak besar, pengusaha hebat dapat diakui melalui resistensinya dalam menghadapi masa krisis. 


Para pedagang lokal yang berharap kepada pembeli untuk mengunjungi tokonya, tidak dapat berharap banyak lagi oleh karena merebaknya e-commerce yang menjajakan barang jualannya dengan jenis yang sama, namun harga yang berbanding terbalik lebih murah. Dan berdasarkan hasil Survei e-commerce 2022 oleh BPS, yaitu per 15 September 2022, hanya 34,10 % usaha yang melakukan kegiatan e-commerce, yang mana pada saat itu sedang kental-kentalnya dengan sistem - sistem pembaruan digitalisasi. Fenomena yang terjadi di dunia e-commerce yaitu terdapat momentum - momentum yang dapat dimanfaat oleh para pedagang konvensional untuk melakukan restruktur atau penyesuaian terhadap sistem kerja penjualannya. Momen - momen tersebut, seperti Flash Sale, Lazada 11.11, serta momentum yang disandingkan dengan hari - hari besar.

Perubahan serta momentum seperti ini, harusnya sudah dikenali serta disesuaikan oleh para pedagang konvensional dan masuk kedalam manajemenisasi ala Coombs, yaitu Pre-Crisis. Dimana pedagang harus peka akan perubahan atau dinamika sistem penjualan yang mainstream, dengan tetap mempertahankan prinsip dasar pengusaha tersebut. Lanjutnya jika terus dibiarkan dengan comfort zone berjualan yang itu - itu saja, tidak ada penyesuaian sistem dan lainnya, maka wajar terjadi krisis dengan turunnya omset penjualan, fluktuatif harga dan hal lainnya. Imbas dari monotonnya sistem yang digunakan. Post crisis dapat menjadi assessment terakhir bagi penjual, apakah berhasil melewati masa - masa krisis atau justru berada pada ambang kehancuran.

Penyesuaian atau perubahan sistem penjualan merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh penjual, oleh karena penjual berhadapan langsung dengan publik sehingga haruslah peka dan mengikuti dengan dinamika perubahan yang ada. Tentunya, dengan tetap mempertahankan prinsip dasar yang dimiliki oleh pengusaha itu sendiri. Sehingga otentikasi dari pengusaha tetap terjaga. Digitalisasi merupakan salah satu metode manajemenisasi dalam menghadapi krisis, khususnya jika berbicara mengenai Disperality dan Khalayak Luas.

Tidak hanya industri fashion, anyaman rotan pun, dapat go international dengan memanfaatkan Digitalisasi. Pentingnya bagi pengusaha maupun pimpinan korporasi dalam menilai, mengidentifikasi, analisis masa - masa krisis (Pre-Crisis) yang dikaitkan dengan Brand sendiri menjadi sebuah keharusan. Oleh karena jika masa krisis semakin menerpa dan terjadi krisis (Crisis), hal itu akan berbanding lurus dengan tingkat kesulitan dalam memperbaikinya.

Posisi Pasca Crisis merupakan masa - masa evaluasi setelah meredamnya sebuah krisis terjadi. Sebagai seorang pengusaha tentunya ingin tetap dalam situasi baik, setelah melewati masa krisis. Sehingga sudah menjadi hal lumrah, bahwa teknik gabungan terkadang diperlukan di dalam manajemen krisis. Salah satu tipsnya yaitu pada masa Pre Crisis (model Coombs) dapat disandingkan dengan Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threads), dimana seluruh komponen SWOT dikaitkan dengan Brand/Produk/Jasa pada tahap sebelum Krisis terjadi. 

Digitalisasi di dalam perdagangan menjadi contoh yang cukup relevan terkait dengan triangulasi teknik manajemen krisis.

Dibaca 13 kali

Facebook comments